kelvinsusanto Moderator
Posts : 80 Points : 164 Rating : 4 Join date : 2010-07-19 Age : 28 Location : modernland,Tangerang
| Subject: gantung Thu Aug 05, 2010 8:27 pm | |
| Blackberry gua berbunyi dengan keras di antara sepinya malam. Dengan mata yang masih terpejam, tangan gua meraba-raba kasur untuk mencari keberadaan Blackberry gua.
“Hallo!” sapa gua dengan mata masih terpejam.
“Hallo, Tara! Maaf menggangu kamu malam-malam begini.”
Gua mencoba membuka mata gua dan melihat layar Blackberry gua. Gua memastikan kalo yang nelpon gua adalah ibu sahabat gua. Dan ternyata benar.
“Oh, tante. Ada apa tante? Apa yang bisa saya bantu?” tanya gua dengan rasa kuatir tingkat tinggi. Pasti ada sesuatu sehingga jam 2 pagi beliau menghubungi gua.
“Kamu bisa ke Rumah Sakit Royal Tamunegara sekarang?”
“Hah? Kenapa tante? Siapa yang sakit? Om atau Josh?”
Gua hanya mendengar suara tangisan. Sebuah tangisan untuk menjawab pertanyaan gua. Tapi tangisan itu bukan jawaban yang gua inginkan. Gua ingin sebuah jawaban yang pasti. Jawaban yang akan membuyarkan semua kekuatiran gua.
“Josh…Josh…”
“Josh kenapa tante?”
**********
Masih terbayang pembicaraan terakhir gua dengan Josh. Salah satu sahabat terbaik gua. Dua hari yang lalu gua menemui Josh di rumahnya. Wajahnya lusuh. Tak ada senyuman manis atau tawa riang yang selalu gua temukan. Hari itu, Josh sangat berbeda. Bukan Josh yang gua kenal. Josh yang periang yang penuh dengan humor yang mampu membuat perut gua sakit gara-gara kram akibat banyak ketawa.
Senyumnya seolah sirna. Semangat hidupnya seolah hilang di telan kabut malam.
“Gua ingin buta biar ngga melihat kemesraan mereka. Gua ingin tuli biar ngga mendengar cerita cinta mereka. Dan gua ingin gantung diri. Biar rasa sakit ini hilang. Atau kalau gua berdoa dan Tuhan langsung mengabulkan maka gua akan minta supaya gua jadi amnesia biar gua bisa melupakan dia. Melupakan wajahnya. Melupakan namanya dan semua kenangan yang ada antara gua dengan dia,” ucap Josh sambil pandangannya menyapu lantai kamar.
“Hidup itu indah! Sangat indah. Loe harus bisa menemukan alasan lain untuk tetap bertahan hidup. Hidup itu ngga hanya tentang cinta. Hidup itu ngga hanya berurusan tentang wanita. Jangan pernah menyerah. Itu kata loe dua bulan yang lalu ke gua saat gua putus dengan Ai. Dan sekarang…..”
Gua menghembuskan nafas gua dengan berat. Gua melirik Josh yang masih tertunduk diam. Tatapannya kosong. Tak ada raut kesakitan yang terpancar dari wajahnya akibat puluhan sayatan di lengan kanannya. Luka sayatannya masih mengeluarkan darah segar.
“Gua ngga habis pikir kenapa dia memilih cowok itu. Gua ngga punya suara yang merdu seperti dia. Gua bukan artis. Gua ngga seterkenal dia.Tapi dia tau kalo gua sangat mencintainya. Dan dia sendiri sayang ama gua. Kok semudah itu dia berpaling? Dasar perempuan murahan.”
Gua hanya diam mendengarkan keluh kesahnya.Gua merangkul bahunya. Mencoba mentransfer energi positif yang gua punya ke Josh. Dan dari awal Josh jatuh cinta dengan gadis pujaan hatinya, tak pernah sekali pun dia menyebut namanya. Atau memperkenalkan ke gua. Katanya, nanti saat gua juga akan tau.
Hening…
*********
3 tahun yang lalu. Gua masih ingat kalimat yang pernah Josh ucapkan. Sebuah kalimat yang berisi sebuah janji. Janji antara gua dan Josh. Janji dua orang sahabat. Sebuah janji yang memiliki kekuatan tersendiri bagi gua untuk tetap kuat di antara kerapuhan. Tetap bersinar terang di antara angin yang meniup kencang.
“Gua berjanji, gua ngga akan putus asa menjalani hidup ini. Meski itu berat. Meski itu sangat-sangat sulit untuk dijalani. Dan loe juga harus berjanji?”
Janji itu menjadi pengobat lara di kala gua terpuruk sekali pun. Janji itu menjadi motivasi buat gua untuk bangkit. Janji itu menuntun gua untuk terus melangkah ke depan.
Namun…. Janji itu hanya tinggal sebuah janji. Gua berdiri terpaku seperti patung. Gua ngga percaya dengan apa yang gua dengar barusan. Kalo bukan ibunya yang mengabarinya, gua ngga akan pernah akan percaya kabar itu. Kabar yang menyakitkan. Kabar yang membuat seluruh tulang-tulang gua rasanya ingin remuk. Kabar yang mampu menghancurkan hati gua yang tegar.
Spontan setelah mendengar kabar tentang Josh, Blackberry gua terlepas dari tangan gua. Masih terngiang dengan jelas kalimat ibunya.
“Dewantara, Josh meninggal…..”
Air mata gua mengalir. Satu lagi sahabat terbaik yang gua punya, pergi untuk selama-lamanya. Pergi dan ngga kembali lagi. Pergi bersama luka yang terpatri di hatinya. Sebuah luka karena cinta. Cinta yang tak terbalas.
************
Gua shock begitu melihat tubuh kaku Josh di kamar mayat. Josh benar-benar memilih untuk gantung diri agar rasa sakit itu hilang. Entah apa yang ada di kepalanya saat memutuskan untuk bunuh diri. Itukah harga sebuah rasa sakit yang harus di bayar dengan nyawa.
“Lebih baik gua yang mati, Tara. Kalau gua tetap hidup maka gua yang akan membunuh pujaan hati gua dan kekasihnya.”
Astaga! Dia benar-benar melakukannya. Dia benar-benar mengalah untuk orang yang di cintainya.
Josh, si jenius bunuh diri. Si pemain basket berbakat itu memutuskan untuk bunuh diri. BUNUH DIRI! Setelah usahanya untuk merenggut nyawanya dengan memotong urat nadinya gagal, dia memilih gantung diri di kamarnya sambil mengengam foto pujaan hatinya yang telah buram. Saking buramnya, gua sendiri ngga bisa memastikan sosok yang ada dalam foto tersebut.
Tak akan ada yang pernah menyangka dengan keputusannya ini termasuk gua, sahabatnya. Tapi semuanya sudah terjadi. Tak ada yang perlu di sesali. Yang ada hanya sebuah rasa kehilangan.
Kalau bisa gua berandai-andai. Andai saja, gadis itu ngga pernah memberikan pengharapan kepada Josh. Andai saja gadis cantik itu tak pernah menggantung cinta Josh. Andai saja dia berani dengan tegas mengatakan tidak pernah memiliki perasaan apa pun, mungkin ini semuanya ngga akan terjadi. Tapi itu hanya sebuah andaian yang ngga berguna sama sekali. Sebuah andaian yang ngga akan membangunkan Josh!
“Dewantara, bantu tante untuk beresin semua barang-barang Josh ya?!” sebuah permintaan sederhana seorang ibu yang kehilangan anak tunggalnya karena cinta.
Astaga! Gadis itu tidak hanya berhasil membuat Josh bunuh diri. Tapi membuat gua dan ibu Josh merasakan kehilangan orang yang kami sayangi.
“Josh… Why? Why? Kenapa kamu tega membuat ibu sendiri? Setelah papa kamu pergi, sekarang kamu yang meninggalkan ibu.” Gua mendengar kalimat yang di ucapkan oleh ibu Josh sebelum kami meninggalkan pemakaman, tempat tubuh Josh beristirahat untuk selama-lamanya lalu di makan ulat dan cacing dan menyisahkan tulang belulang.
Ketika gua membereskan barang-barang Josh sendiri karena ibunya tidak sanggup melihat semua yang berkaitan dengan anaknya, gua menemukan sebuah surat di laci meja belajar Josh.
“I love you, I love you, I love you Agnes Sastra! Untuk apa aku hidup bila dirimu tak menjadi kekasihku? Ingin ku bunuh pacarmu kalau saja dia bukan sahabat gua sendiri.”
Astaga! Dia jatuh cinta dengan kekasih gua. Dia memendam rasa itu sendiri. Jadi itu alasan kenapa dia tak pernah menyebut nama gadis pujaannya. Jadi bukan karena Agnes? Tapi karena gua juga, Josh bunuh diri! Astaga! | |
|