kelvinsusanto Moderator
Posts : 80 Points : 164 Rating : 4 Join date : 2010-07-19 Age : 28 Location : modernland,Tangerang
| Subject: aku di tampar!!! Thu Aug 05, 2010 8:38 pm | |
| Hampir diseluruh perempatan jalan dan daerah strategis yang banyak orang lalu lalang kita menemukan pengemis. Orang yang kabarnya papa, tidak punya apa-apa dan hidupnya dari belas kasihan orang.
Terinsipirasi dari film karya Deddy Mizbar “Alangkah lucunya negeri ini” yang membuat saya tertawa, tertawa ironis tepatnya membuahkan pertanyaan dikepala ini apa benar pengemis itu punya pengelola ya?
Kalau diperhatikan dress code mereka dalam mengemis hampir-hampir mirip lo daerah yang satu dan lainnya. Ada pengemis dengan style membawa bayi, pengemis dengan (maaf) cacat tubuh, Bapak bertopi dengan tongkat, pengemis anak dengan kecrekan, Ibu tua dengan selendang kumal, dan beberapa tipe lainnya.
Kejadian tidak sengaja sewaktu saya pulang lembur saya melihat segerombolan pengemis anak-anak mengerubuti seorang bapak dengan wajah yang biasa saja, mereka “menitipkan” uang hasil hari itu kepadanya. Tidak hanya itu seorang rekan memberitahu tahu kehidupan malam disekitar kantor saya begitu “hidup”, ada seorang bapak yang datang setiap sore dengan baju rapi tahu-tahu keluar memakai baju “seragamnya” dan duduk di emperan pojok untuk… mengemis.
Sulitnya mendapat hidup layak dan kerja, kurangnya pendidikan, atau karena kepepet jadi kreatif, entah alasan mana yg paling tepat untuk melukiskan orang atau kelompok yang memberdayakan sesama menjadikan pengemis ini lahan bertahan hidup. Lantas dengan hadirnya tudingan bahwa pengemis itu mempunyai wadah dan sebagian menjadikan profesi kitapun kadang menjadi dilema.
Pernah sepulangnya saya kerja, saya diikuti oleh seorang bapak mengenakan pakaian kantor juga namun kumal sampai kedepan rumah. Merasa tidak nyaman dan mulai berpikir buruk, saya menegurnya. Dia bergumam tidak jelas dan saya minta dia mengulangi kata-katanya.
“Maaf bu, apakah boleh minta nasi untuk anak saya dirumah?” sahutnya lirih, pelan dengan menunduk.
Saya terkesiap seakan petir menyambar diatas kepala, wajah saya panas serasa tertampar dan air mata ini sudah mulai mengembang di mata padahal saya bukan perempuan cengeng. Saya bekali dengan makanan apa saja yg ada dirumah, ibu saya pasti mau mengerti kenapa lauk di meja mendadak kosong. Bapak itu berlalu dan tidak pernah datang kembali sekalipun saya mewanti-wantinya untuk datang bila masih membutuhkan. Dibekali uang bapak itu menolaknya! Sedikit menyesal mengapa tidak saya tanyakan lebih jauh tentang hidupnya.
“Hati-hati modus operandi kejahatan baru lo! Dibekap saja lo gimana?” Sahut miss rumpi, saya cukup kaget dengan ucapannya. Sekalipun tadi sewaktu diikuti saya sempat berpikir buruk namun setelah tahu alasan kenapa diikuti pikiran buruk itu menguap entah kemana. Saya tidak menyalahkan miss rumpi ditengah maraknya tingkat kejahatan nan kreatif ternyata membuat orang semakin jadi parno dan was-was bisa diterima.
Kisah tertamparnya saya tidak berhenti sampai disitu, di malam lain saya juga menjumpai seorang ibu dengan dua anak tidur di emperan dekat rumah saya. Dari pakaiannya si ibu ini rapi dengan tas besar entah isinya apa, mungkin habis turun dari stasiun. Tapi yang bikin miris sang ibu mengais-ngais sampah untuk mendapat sedikit lauk untuk nasi bungkusnya yang tinggal sedikit. Teringat saya akan bekal lauk makan siang yang dibawakan ibu, seringkali saya buang karena bosan atau tidak sesuai dengan selera sementara di luar sana ada begitu banyak orang butuh makan sampai rela mengais sampah namun mereka tidak menjadi pengemis!
Cerita lain dikala sarapan pagi mie ayam kaki lima, seorang anak memandangi saya dari kejauhan. Tidak bergesernya tatapannya membuat saya jengah, saya tawari dia makan disambutnya dengan sumringah.
“Tapi dibungkus saja ya tante (hiks.. tante katanya)” sahutnya. Saya tanya kenapa harus dibungkus?
“Untuk dimakan berdua dengan adik disana” sahutnya. Saya tatap arah yang ditunjuknya, sang adik sedang menyemir sepatu seorang bapak. Ingin rasanya menelpon miss lifestyle untuk membawa seluruh koleksi sepatunya untuk disemir si adik yang harusnya menikmati masa kecil, tapi mereka tidaklah mengemis.
Saya jadi menyadari, miskin itu tidaklah melulu menjadi pengemis. Berapa banyak orang yang perlu dibantu diluar sana namun tidaklah tampak dimata kita? Saudara kita mungkin? Tetangga depan rumah? Yang mungkin kalut karena di-PHK? Si Ibu janda yang mengadu nasib di ibukota? Penjual makanan yang tidak laku dan harus merugi? Pedagang kecil lainnya yang kehabisan modal? Tukang sampah yang membersihkan sampah kita tiap hari? Hansip komplek? Penghuni rumah kontrakan yang sebentar lagi akan diusir karena tidak sanggup bayar? Anak-anak putus sekolah harus bekerja demi kebutuhan hidup? Miskin-miskin lain yang terselubung? Yakinlah banyak.
“Gue bukan ga mau bantu, tapi bedain mereka susah kan? Antara pengemis bayaran dan miskin terselubung crita lo itu?” sahut miss lifestyle ketika saya curhat kisah tamparan saya.
“Lagian yang penting niatnya, perkara uangnya ternyata dimanfaatkan sama organisasi ya terserah deh.” sahutnya lagi.
Saya manggut-manggut, memang dibutuhkan kepekaan sedikit untuk melihatnya. Saya merasa bahwa setiap bantuan yang kita ulurkan selayaknya dapat kita pertanggung-jawabkan sampai ke tangan yang membutuhkan. “Yang penting ngasih, selanjutnya terserah anda” tampaknya cara yang paling simpel dan ogah repot ditengah jaman instan ala urban saat ini.
Ditengah lamunan, adik saya bercerita kalau kenalannya mendadak menjadi kaya, karena rajin mentraktir belakangan dan belanja. “Tumben, kok bisa?” tanya saya. “lagi musim musibah” sahut adik saya pendek. Saya melongo mendengarnya, pengemis tidak hanya sebatas fisik atau keadaan. Mental seseorang bisa juga ketularan!
*Menengadah kelangit, memaklumi Tuhan yang belakangan menjadi sangat galak kepada umat-Nya* | |
|